Selasa, 11 November 2014

PENGARTIAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH MENURUT 5 PAKAR AHLI



PENGARTIAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
MENURUT 5 PAKAR AHLI
1.      Philip H.Coombs
Philip H.Coombs berpendapat bahwa pendidikan luar sekolah adalah semua kegiatan pendidikan yang terorganisasi, sistematis dan dilaksanakan di luar sistem pendidikan formal, yang menghasilkan tipe-tipe belajar yang dikehendaki oleh kelompok orang dewasa maupun anak-anak.
2.      Russel Kleis
Russel Kleis,dalam bukunya Non-formal Education mengemukakan bahwa pendidikan luar sekolah adalah usaha pendidikan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis. Biasanya pendidikan ini berbeda dengan pendidikan tradisional terutama yang menyangkut waktu, materi, isi dan media. Pendidikan luar sekolah dilaksanakan dengan sukarela dan selektif sesuai dengan keinginan serta kebutuhan peserta didik yang ingin belajar dengan sungguh-sungguh.
3.      Axinn
Axinn mengemukakan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan kegiatan yang ditandai dengan kesengajaan dari kedua belah pihak, yaitu pendidik yang sengaja membelajarkan peserta didik, dan peserta didik yang sengaja untuk belajar.Suzanna Kindervatter mengemukakan definisi pendidikan luar sekolah sebagai berikut: pendidikan luar sekolah sebagai suatu metoda penerapan kebutuhan, minat orang dewasa dan pemuda putus sekolah di negara berkembang, membantu dan memotivasi mereka untuk mendapatkan keterampilan guna menyesuaikan pola tingkah laku dan aktivitas yang akan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan standar hidup. Suzanna Kindervatter mengusulkan pendidikan luar sekolah sebagai "empowering process”.Empoweringprocessadalah pendekatan yang bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada seseorangatau kelompok guna memahami dan mengontrol kekuatan sosial ekonomi dan politik sehingga dapat memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat. Program pembelajaran dalam empowering process dirancang untuk memberi kesempatan kepada para anak putus sekolah, dengan menganalisis keadaan kehidupan mereka guna, mengembangkan keterampilan yang dikehendaki agar dapat merubah keadaan kehidupan mereka.
4.      Adikusumo
Adikusumo (1986: 57) dalam bukunya Pendidikan Kemasyarakatan mengemukakan pengertian pendidikan luar sekolah sebagai berikut pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, dimana seseorang memperoleh informasi-informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan mengembangkan tingkat kerterampilan, sikap-sikap peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga bahkan masyarakat dan negaranya.
5.      Sudjana
Sudjana, mengemukakan pengertian pendidikan luar sekolah sebagai berikut: "Pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan belajar membelajarkan, diselenggara-kan luar jalur pendidikan sekolah dengan tujuan untuk membantu peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi diri berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, dan aspirasi yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, lembaga, bangsa, dan negara






PENGARTIAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
MENURUT BEBERAPA AHLI
1.      Prof. Santoso S. Hamodjojo
Prof. Santoso S. Hamodjojo (1998) strategi PLS adalah untuk meletakkan sistem yang tangguh untuk menangani pendidikan sepanjang hidup, dengan jalur insidental, informal, nonformal dan formal bagi semua warga negara untuk menggalang masyarakat gemar belajar yang beradab dan demokratis (madani).
2.      Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat yang mengandung karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat, mencakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati.
3.       Suparjo Adikusumo
Menurut Suparjo Adikusumo dalam Yoyoh (2000:) mengatakan bahwa: Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan untuk mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan warganya.







DAFTAR PUSTAKA

Santoso, R.A. (1956). Pendidikan Masyarakat I, II, III. Bandung : Ganaco,NV
Sudjana, Djudju, (2004); Pendidikan Non Formal, Fallah Production, Bandung
Sudjana, D. (2000). Pendidikan Luar Sekolah; Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafat, Teori Pendukung, Azas. Bandung : Falah Production
Sujana, S HD. 2005. Strategi kegiatan Belajar Mengajar dalam Pendidikan Luar Sekolah, Penerbit Falah Production, Bandung.
Suprayogi. 2005. Pengembangan Model Program pendidikan Luar Sekolah dalam Memperdayakan kelompok Masyarakat Lanjut Usia Mencapai Kemandirian, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Trisnamansyah, S. 1986 Pengantar Pendidikan Luar Sekolah, Kurnia Universitas Terbuka, Jakarta
Trisnamansyah, S, (2004), Filsafat, Teori dan Konsep Pendidikan Luar Sekolah, Handout Perkuliahan, Program PLS PPS UPI, Bandung.

PENGEMBANGAN, PENGUKURAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN



MAKALAH
PENGEMBANGAN, PENGUKURAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas dari salah satu tugas mata kuliah Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
DOSEN : Sudirman, M.Pd.I











Disusun :
KELOMPOK :
1.     Eni Junaeni
2.     Melan Rahmawati
3.     Dian Kardiana
4.     Koyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASSALAMIYAH
JAWILAN –  SERANG – BANTEN
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas inayah dan taufiq-Nyalah makalah ini dapat diselesaikan walaupun disana sini masih banyak kekurangan.
Dalam penyusunan penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini terutama kepada yang terhormat :
1.      Bapak Drs.H.A.Bazari Syam,MS.MPd, Selaku Ketua STAI assalamiyah Jawilan serang,
2.      Bapak.Sudirman, M.Pd.I. Selaku Dosen mata kuliah
3.      Seluruh mahasiswa seperjuangan.
Serta semua teman-teman yang telah membantu baik secara moral maupun materi, dan semoga makalah ini menjadi bermanfaat bagi kita semua, amiin.

                                                                                    Serang 07 November  2014



                                                                                                Penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………              i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...   ii
BAB I     PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang .......... ……………………………………………………...   1
B.           Rumusan Masalah ...........………………………………………………......    2
BAB II     PEMBAHASAN
A.           Beberapa Pengertian ......................................................................................   3
1.      Pengertian Pengembangan ........................................................................   3
2.      Pengertian Pengukuran (measurement) ....................................................   3
3.      Pengertian Evaluasi (Evaluation) ..............................................................   5
4.      Pengertian Mutu ........................................................................................  6
B.            Pengembangan Mutu pendidikan ..................................................................   7
1.      Pengembangan dengan Menyusun Rencana Induk Pengembangan ........   7
2.   Tahapan Pengembangan Mutu Pendidikan di Lembaga Pendidikan ......    8
a)   Manajemen Mutu ...............................................................................    8
b)   Pengendalian Mutu ............................................................................   10
c)   Peningkatan Mutu ..............................................................................   11
C.            Pengukuran dan Evaluasi Mutu Pendidikan .................................................   15

1.      Tujuan Evaluasi ...............................................................   16

3.      Aspek Sasaran Evaluasi .................................................    18

BAB III    PENUTUP
A.           Kesimpulan ……….......…………………………………………………..      24
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat di butuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan.
Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa, dan tanpa evaluasi pula kita tidak akan ada perubahan menjadi lebih baik, maka dari itu secara umum evaluasi adalah suatu proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program.
Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. [1]
Evaluasi berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian yang pada umumnya diartikan tidak berbeda (indifferent), walaupun pada hakekatnya berbeda satu dengan yang lain. Pengukuran (measurement) adalah proses membandingkan sesuatu melalui suatu kriteria baku (meter, kilogram, takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian adalah suatu proses transformasi dari hasil pengukuran menjadi suatu nilai. Evaluasi meliputi kedua langkah di atas yakni mengukur dan menilai yang digunakan dalam rangka pengambilan keputusan.
Evaluasi pendidikan memberikan manfaat baik bagi siswa/peserta pendidikan, pengajar maupun manajemen. Dengan adanya evaluasi, peserta didik dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan yang telah digapai selama mengikuti pendidikan. Pada kondisi dimana siswa mendapatkan nilai yang memuaskan maka akan memberikan dampak berupa suatu stimulus, motivator agar siswa dapat lebih meningkatkan prestasi. Pada kondisi dimana hasil yang dicapai tidak memuaskan maka siswa akan berusaha memperbaiki kegiatan belajar, namun demikian sangat diperlukan pemberian stimulus positif dari guru/pengajar agar siswa tidak putus asa. Dari sisi pendidik, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai umpan balik (feed back) untuk menetapkan upaya-upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari pengembangan mutu pendidikan?
2.      Apa pengertian dari pengukuran dan evaluasi mutu pendidikan ?

























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Beberapa Pengertian
1.      Pengertian Pengembangan
Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai dengan kebituhan pekerjaan/ jabatan melalui pendidikan dan latihan.
Pendidikan meningkatkan keahlian teoritis, konseptual, dan moral karyawan, sedangkan latihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan karyawan, workshoop bagi karyawan dapat meningkatkat pengetahuan lebih lagi di luar perusahaan.
Edwin B. Flippo mendefinisikan pengembangan sebagai berikut : “Pendidikan adalah berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh”, sedangkan latihan didefinisikan sebagai berikut : “Latihan adalah merupakan suatu usaha peningkatan pengetahuan dan keahlian seorang karyawan untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu”.
Sedangkan Andrew F. Sikula mendefinisikan pengembangan sebagai berikut : “Pengembangan mengacu pada masalah staf dan personel adalah suatu proses pendidikan jangka panjang menggunakan suatu prosedur yang sistematis dan terorganisasi dengan mana manajer belajar pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum”. Sedangkan definisi latihan diungkapkan oleh Andrew F. Sikula yaitu “latihan adalah proses pendidikan jangka pendek dengan menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir, sehingga karyawan operasional belajar pengetahuan teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu”.
2.      Pengertian Pengukuran (measurement)
Pada dasarnya pengukuran merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk menggambarkan karakteristik suatu objek. Kemampuan seseorang dalam bidang tertentu dinyatakan dengan angka. Dalam menentukan karakteristik individu, pengukuran yang dilakukan harus sedapat mungkin mengandung kesalahan yang kecil. Kesalahan yang terjadi pada pengukuran ilmu-ilmu alam lebih sederhana dibandingkan dengan kesalahan pengukuran pada ilmu-ilmu sosial. Kesalahan pada ilmu-ilmu alam sebagian besar disebabkan oleh alat ukurnya, sedangkan kesalahan pengukuran dalam ilmu-ilmu sosial bisa disebabkan oleh alat ukur, cara mengukur, dan keadaan objek yang diukur (Djemari Mardapi, 2008).
Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) Pengukuran yang dilakukan bukan untuk menguji sesuatu, seperti pengukuran yang dilakukan oleh seorang penjahit mengenai panjang lengan, kaki, lebar bahu, ukuran pinggang dan lain-lain. (2) Pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu, seperti pengukuran untuk menguji daya tahan mesin sepeda motor, pengukuran untuk menguji daya tahan lampu pijar, dan lain-lain. (3) Pengukuran untuk menilai yang dilakukan dengan menguji sesuatu, seperti pengukuran kemajuan belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar. Pengukuran jenis ketiga inilah yang dikenal dalam dunia pendidikan (Anas Sudiyono, 1996).
Hal-hal yang termasuk evaluasi hasil belajar meliputi alat ukur yang digunakan, cara menggunakan, cara penilaian, dan evaluasinya. Alat ukur yang digunakan bisa berupa tugas-tugas rumah, kuis, ujian tengah semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Pada prinsipnya, alat ukur yang digunakan harus memiliki bukti kesahihan (validitas) dan kehandalan (reliabilitas) yang tinggi.
Kesahihan atau validitas alat ukur dapat dilihat dari konstruk alat ukur, yaitu mengukur sesuatu yang direncanakan akan diukur. Menurut teori pengukuran, substansi yang diukur harus satu dimensi. Aspek bahasa, kerapian tulisan tidak diskor atau diperhitungkan bila tujuan pengukuran adalah untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam mata pelajaran tertentu. Konstruksi alat ukur dapat ditelaah pada aspek materi, teknik penulisan soal, dan bahasa yang digunakan. Pakar di bidangnya atau teman sejawat merupakan penelaah yang baik untuk memberikan masukan tentang kualitas alat ukur yang digunakan termasuk tes.
Kesahihan alat ukur juga bisa dilihat dari kisi-kisi alat ukur. Kisi-kisi ini berisi materi yang diujikan, bentuk dan jumlah soal, tingkat berpikir yang terlibat, bobot soal, dan cara penskoran. Kisi-kisi yang baik adalah yang mewakili bahan ajar. Untuk itu pokok bahasan yang diujikan dipilih berdasarkan kriteria: (1) pokok bahasan yang esensial, (2) memiliki nilai aplikasi, (3) berkelanjutan, (4) dibutuhkan untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Hal lain yang penting adalah lamanya waktu yang disediakan untuk mengerjakan soal ujian. Ada yang berpendapat, kisi-kisi ini sebaiknya disampaikan kepada peserta didik.
Hasil pengukuran harus memiliki kesalahan yang sekecil mungkin. Tingkat kesalahan ini berkaitan dengan kehandalan alat ukur. Alat ukur yang baik memberi hasil konstan bila digunakan berulang-ulang, asalkan kemampuan yang diukur tidak berubah. Kesalahan pengukuran ada yang bersifat acak dan ada yang bersifat sistematik. Kesalahan acak disebabkan situasi saat ujian, kondisi fisik-mental yang diukur dan yang mengukur bervariasi. Kondisi mental termasuk emosi seseorang bisa bersifat variatif, dan variasinya diasumsikan acak. Hal ini untuk memudahkan melakukan estimasi kemampuan seseorang.
3.      Pengertian Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja, atau produktifitas suatu lembaga dalam melaksanakan programnya. Fokus evaluasi adalah individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai kelompok atau kelas. Melalui evaluasi akan diperoleh informasi tentang apa yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai. Selanjutnya, informasi ini digunakan untuk perbaikan suatu program.
Evaluasi menurut Griffin & Nix (1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil pengukuran. Menurut definisi ini selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian. Menurut Tyler (1950), evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai. Masih banyak lagi definisi tentang evaluasi, namun semuanya selalu memuat masalah informasi dan kebijakan, yaitu informasi tentang pelaksanaan dan keberhasilan suatu program yang selanjutnya digunakan untuk menentukan kebijakan berikutnya.
Evaluasi secara singkat juga dapat didefinisikan sebagai proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok. Hasil evaluasi diharapkan dapat mendorong guru untuk mengajar lebih baik dan mendorong peserta didik untuk belajar lebih baik. Jadi, evaluasi memberikan informasi bagi kelas dan guru untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Informasi yang digunakan untuk mengevaluasi program pembelajaran harus memiliki kesalahan sekecil mungkin. Evaluasi pada dasarnya adalah melakukan judgment terhadap hasil penilaian, maka kesalahan pada penilaian dan pengukuran harus sekecil mungkin.
Evaluasi pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hasil tes seperti kuis misalnya, dianalisis untuk mengetahui konsep mana yang belum difahami sebagian besar peserta didik. Kemudian diikuti dengan kegiatan remedial, yaitu menjelaskan kembali konsep-konsep tersebut. Evaluasi untuk perbaikan bisa dilakukan dengan membuat angket untuk peserta didik. Angket ini berisi tentang pertanyaan mengenai pelaksanaan pembelajaran menurut perspektif peserta didik. Hasilnya dianalisis untuk mengetahui aspek mana yang harus diperbaiki.
Evaluasi sumatif bertujuan untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik. Nilai yang dicapai peserta didik ditetapkan lulus atau belum. Evaluasi sumatif bisa terdiri dari beberapa kegiatan pengukuran dan penilaian. Hal ini harus dijelaskan kepada peserta didik di awal pelajaran, yaitu tentang penentuan nilai akhir. Bobot dari tugas, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester harus dijelaskan kepada peserta didik.
Dampak hasil evaluasi terhadap motivasi belajar peserta didik adalah yang meningkat, tetap, bahkan ada yang turun. Setiap peserta didik mempunyai harapan terhadap hasil ujian (ulangan) pelajaran, yaitu besarnya prestasi yang dinyatakan dengan dalam skor hasil tes. Harapan ini ada yang terpenuhi dan ada yang tidak terpenuhi. Sesuai dengan karakteristik peserta didik, ada yang motivasi belajarnya naik, ada yang tetap, dan kemungkinan ada yang turun.

4.      Pengertian Mutu
Dalam kamus Bahasa Indonesia mutu diartikan sebagai baik buruk sesuatu, kualitas, taraf atau derajat.
Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan oleh pelanggan. Sallis (1993) mendefinisikan mutu dalam dua perspektif, yaitu mutu absolut dan mutu relatif. Mutu absolut merupakan mutu dalam arti yang tidak bias ditawar-tawar lagi atau bersifat mutlak. Dalam pandangan absolut, mutu diartikan sebagai ukuran yang terbaik menurut pertimbangan produsen dalam memproduksi suatu barang atau jasa. Sedangkan menurut mutu relatif diartikan sebagai mutu yang ditetapkan oleh selera konsumen. Dengan demikian suatu barang atau jasa dapat disebut bermutu oleh seorang konsumen, tetapi belum tentu dikatakan bermutu oleh konsumen yang lainnya. Pandangan mengenai mutu ini mengimplikasikan bahwa barang atau jasa yang diproduksi harus selalu mengutamakan kesesuaian antara kebermutuan dalam perspektif absolut dan relatif.




B.     Pengembangan Mutu pendidikan
1.      Pengembangan dengan Menyusun Rencana Induk Pengembangan (RIP)
Evaluasi yang telah dilakukan oleh penilai di dalam mengukur keberhasilan pencapaian tujuan perlu dikembangkan dan diadministrasikan. Data yang dihasilkan akan sangat berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan apakah program diteruskan dimodifikasi atau dihentikan.
Rencana induk pengembangan sekolah merupakan suatu proses untuk menyusun langkah-langkah serta memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Sederhananya, RIP sekolahberisi tentang uraian kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka melakukan perubahan guna pencapaian visi, misi dan tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Menurut Abdul Rachman Shaleh dkk. RIP sekolah disusun dengan tujuan: (1) Menjamin agar perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan tingkat kepastian yang tinggi dan resiko yang kecil; (2) mendukung koordinasi antar-pelaku sekolah; (3) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi, baik antar-pelaku sekolah, antar-sekolah, dan kantor Dinas Pendidikan/Kementrian Agama, dan antar-waktu; (4) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencana, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (5) mengoptimalkan partsispasi warga sekolah dan masyarakat; dan (6) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Rencana induk pengembangan sekolah disusun secara sistemik, rasional, berbasis data dan informasi akurat serta sistematik dengan memperhatikan pada faktor peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal, memperhatikan kekuatan dan kelemahan internal, dan kemudian mencari dan menemukan strategi dan program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki, mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi, perwujudan misi, tujuan dan sasaran yang dimiliki. Karena itu rencana induk pengembangan harus berorientasi ke masa depan dan secara jelas menjembatani antara kondisi saat ini yang dihadapi dan harapan yang ingin dicapai di masa depan.
Adapun langkah-langkah dalam menyusun rencana induk pengembangan sekolah meliputi:
a)  Melakukan evaluasi/potret diri (self assessment) atau school Review
b)  Melakukan penyusunan profil sekolah
c)  Perumusan visi
d)  Perumusan misi
e)  Merumuskan tujuan pengembangan
f)  Menentukan arah dan sasaran pengembangan
g)  Mengidentifikasi fungsi-fungsi komponen pendidikan
h)  Melakukan analisis lingkungan strategis dan tantangan nyata
i)  Melakukan analisis faktor-faktor keberhasilan (critical success factors)
j)  Mengidentifikasi alternatif langkah-langkah pemecahan masalah
k) Menyusun rencana strategis dan rencana tindakan (action plans) serta program kerja    
    sebagai strategi operasional.
2. Tahapan Pengembangan Mutu Pendidikan di Lembaga Pendidikan
a)    Manajemen Mutu
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian /hasil/ (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang  menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri  dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
1)   Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
2)   Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
3)   Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
4)   Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang.
b)   Pengendalian Mutu
1)   Teknik Kendali Mutu
Keberhasilan lembaga persekolahan dapat dilihat dari sudut dan tingkat kepuasan dari pelanggannya, yaitu pelanggan sekolah yang dikategorikan pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Hal ini memberikan arti bahwa ukuran sebuah keberhasilan sekolah dapat dilihat dari layanan yang diberikannya. Apakah layanan yang diberikan itu berada pada taraf yang sama atau sesuai dengan harapan pelanggan atau bahkan melebihi, seperti apa yang diharapkan oleh pelanggannya.
Gugus Kendali Mutu adalah salah satu teknik dalam upaya pengendalian mutu sekolah, di mana kelompok-kelompok personel sekolah melakukan kegiatan pengendalian dan peningkatan mutu secara teratur, sukarela dan berkesinambungan melalui penerapan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pengendalian mutu. Selain teknik tersebut, dapat pula dilaksanakan teknik pengawasan mutu yang berdasarkan data seperti checklist, diagram, grafik, diagram sebab akibat, brainstorming, dan statistical process control.
2)   Strategi Kendali Mutu
Pengendalian mutu dapat diartikan sebagai proses manajerial yang di dalamnya terkandung hal-hal (a) melakukan evaluasi terhadap kinerja nyata, (b) proses membandingkan kinerja nyata dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan (c) melakukan tindakan-tindakan/aksi-aksi atas perbedaan-perbedaan yang dapat ditemukan.
Dalam pelaksanaan pengendalian mutu, strategi pengendalian mutu ke arah peningkatan mutu pendidikan secara implementatif pengawasan/ pengendaliannya diarahkan pada optimalisasi komponen pendidikan. Tujuannya adalah mendorong kearah terciptanya situasi yang kondusif dalam meningkatkan mutu proses belajar mengajar. Komponen-komponen yang terkait dengan hal tersebut di atas adalah (a) komponen input manajemen, (b) komponen proses pendidikan, (c) komponen murid, dan (d) komponen hasil belajar.


c)    Peningkatan Mutu
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan.
Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai  teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai  kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal – hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;

1)   Sumber daya
Sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk: (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
2)   Pertanggung-jawaban (accountability)
Sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
3)   Kurikulum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
a)     pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
b)   bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan  efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
c)   pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur  perubahan       sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
4)   Personil sekolah
 sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya).  Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
C.    Pengukuran dan Evaluasi Mutu Pendidikan
Hubungan antara pengukuran (measurement), dan evaluasi (evaluation) bersifat hirarkis(Tersususn / saling terikat). Pengukuran membandingkan hasil pengamatan dengan Kriteria, sedangkan evaluasi adalah penetapan nilai atau implikasi suatu perilaku, bisa perilaku individu atau lembaga. Sifat yang hirarkis ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan evaluasi melibatkan penilaian dan pengukuran. Penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai itu mengandung arti mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri pada ukuran atau criteria tertentu, seperti menilai seseorang sebagai orang yang pandai karena memiliki skor tes inteligensi lebih dari 120, sedangkan evaluasi menacakup baik kegiatan pengukuran maupun penilaian. 

1.      Tujuan Evaluasi

Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1)      Tujuan Umum

Secara umum, tujuan evaluasi adalah:
·         Untuk menghimpun data dan informasi yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau kemajuan yang dialami peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, tujuan umum evaluasi adalah untuk memperoleh data pembuktian yang akan menjadi petunjuk sampai dimana tingkat pencapaian kemajuan peserta didik terhadap tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
·         Untuk mengetahui tingkat efektifitas proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru dan peserta didik.

2)      Tujuan Khusus

·         Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa ada evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
·         Untuk mencari dan menemukan factor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.

2.      Fungsi Evaluasi

Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok yaitu (a) mengukur kemajuan, (b) menunjang penyusunan rencana, dan (c) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. Adapun secara khusus, fungsi evaluasi di bidang pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu (a) segi psikologis, (b) segi pedagogis-didaktik, dan (c) segi administratif.
Secara psikologis, evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah dapat ditilik dari dua sisi, yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing di tengah-tengah kelompoknya atau kelasnya. Masing-masing mereka akan mengetahui apakan dia termasuk siswa yang pandai, rata-rata, atau berkemampuan rendah.
Bagi guru atau pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada dirinya tentang sejauh manakah usaha pendidikan-pengajaran yang telah dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga dia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan batin yang berguna untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang dipandang perlu dilakukan selanjutnya. Misalnya, dengan menggunakan metode-metode mengajar tertentu, hasil belajar para peserta didik telah menunjukkan adanya peningkatan daya serap terhadap materi yang diajarkan, maka atas dasar evaluasi, penggunaan metode-metode tersebut perlu dipertahankan. Sebaliknya, apabila hasil belajar para peserta didik ternyata tidak menggembirakan, maka guru akan berusaha melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan sgar hasil belajar peserta didiknya menjadi lebih baik.
Bagi peserta didik, secara didaktik, evaluasi pendidikan akan dapat memberikan dorongan atau motivasi kepada mereka untuk dapat memperbaiki, meningkatkan, dan mempertahankan prestasinya. Evaluasi belajar misalnya akan menghasilkan nilai-nilai hasil belajar untuk masing-masing individu peserta didik. Ada peserta didik yang nilainya jelek, karena itu dia terdorong untuk memperbaikinya, agar di waktu mendatang nilai hasil belajarnya tidak sejelek sekarang. Ada peserta didik yang yang nilainya tidak jelek tetapi belum dikatakan baik atau memuaskan, maka dia akan memperoleh dorongan untuk meningkatkan prestasi belajarnya di waktu mendatang. Ada juga peserta didik yang sudah mendapatkan nilai yang baik, dan dia tentu akan termotivasi untuk dapat mempertahankan prestasinya pada waktu mendatang.
Secara didakti, bagi guru, evaluasi pendidikan setidaknya memiliki lima macam fungsi, yaitu:
a.      Fungsi diagnostik: Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha atau prestasi yang telah dicapai oleh peserta didiknya.
b.      Fungsi penempatan: Memberikan informasi yang sangat berguna untuk mengetahui posisi masing-masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
c.       Fungsi selektif: Memberikan bahan yang sangat penting untuk memilih dan menetapkan status peserta didik.
d.      Fungsi bimbingan: Memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya.
e.      Fungsi intruksional: Memberikan petunjuk tentang sejauh mana program pengajaran (kompetensi yang telah ditentukan) bisa tercapai.
Adapun secara administratif, evaluasi pendidikan memiliki tiga macam fungsi, yaitu:
a.      Memberikan laporan
Dengan melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Laporan ini pada umumnya tertuang dalam bentuk rapor (untuk siswa) dan Kartu Hasil Studi (KHS) untuk mahasiswa. Baik rapor maupun KHS sebaiknya dikirimkan kepada orang tua/wali pada akhir semester.
b.      Memberikan informasi atau data
Setiap keputusan pendidikan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat. Dalam hubungan ini, nilai-niliah hasil belajar para peserta didik yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi merupakan data yang sangat penting untuk keperluan pengambilan keputusan pendidikan. Keputusan untuk meluluskan atau menaikkan peserta didik harus dilakukan berdasarkan data dari kegiatan evaluasi.
c.       Memberikan gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses pembelajaran tercermin antara lain dari hasil-hasil belajar para peserta didik setelah dilakukan kegiatan evaluasi hasil belajar. Dari kegiatan evaluasi ini akan tergambar dalam matapelajaran apa saja kemampuan para peserta didik masih memprihatinkan, dan dalam matapelajaran apa saja prestasi mereka sudah baik.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang fungsi evaluasi pendidikan ini, bisa dilihat dalam bagan berikut ini:

3.      Aspek Sasaran Evaluasi

Aspek atau sasaran evaluasi adalah sesuatu yang sesuatu yang dijadikan titik pusat perhatian yang akan diketahui statusnya berdasarkan pengukuran. Dalam dunia pendidikan, ada tiga aspek yang menjadi sasaran evaluasi pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

3)      Ranah Kognitif

Aspek atau domain kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang dmaksud adalah (1) pengetahuan, hafalan, ingatan (knowledge), (2) pemahaman (comprehension), (3) penerapan (application), (4) analisis (analysis), (5) sintesis (synthesis), dan (6) penilaian (evaluation).
Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus, dan lain-lain tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan ini merupakan tingkat berpikir yang paling rendah. Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah peserta didik dapat menghafal surat al-'Ashr, menerjemahkan dan menuliskannya kembali secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan guru Pendidikan Agama Islam di sekolah. Contoh lainnya, peserta didik dapat mengingat kembali peristiwa kelahiran Rasulullah saw.
Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik dapat dikatakan memahami sesuatu apabila dia dapat memberikan penjelasan yang rinci tentang sesuatu tersebut dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan tingkat berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman adalah peserta didik dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-'Ashr secara lancer dan jelas.
Penerapan atau aplikasi adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus, teori dan lain-lain dalam situasi yang baru dan kongkrit. Aplikasi atau penerapan ini adalah tingkat berpikir yang setingkat lebih tinggi daripada pemahaman. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang aplikasi adalah peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan oleh Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun di masyarakat.
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut. Taraf berpikir analisis adalah setingkat lebih tinggi daripada taraf berpikir aplikasi. Contoh hasil belajar analisis adalah peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata kedisiplinan seorang siswa sehari-hari di rumah, di sekolah, dan di masyarakat sebagai bagian dari ajaran Islam.
Sintesis adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses berpikir yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Taraf berpikir sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada taraf berpikir analisis. Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada taraf sintesis adalah peserta didik mampu menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagaimana telah diajarkan oleh Islam. Dalam karangannya itu, peserta didik juga dapat mengemukakan secara jelas gagasan-gagasannya sendiri atau orang lain, data-data atau informasi lain yang mendukung pentingnya kedisiplinan.
Penilaian atau penghargaan atau evaluasi merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut taksonomi Bloom. Penilaian atau evaluasi merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide. Misalnya, jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka dia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau criteria yang ada. Contoh hasil belajar kognitif taraf evaluasi adalah peserta didik mampu mengidentifikasi manfaat kedisiplinan dan mudharat kemalasan sehingga pada akhirnya dia berkesimpulan dan menilai bahwa kedisiplinan di samping merupakan perintah Allah swt juga merupakan kebutuhan manusia itu sendiri.
Keenam jenjang taraf berpikir kognitif ini bersifat kontinum dan overlap atau tumpang tindih, di mana taraf berpikir yang lebih tinggi meliputi taraf berpikir yang ada di bawahnya.

4)      Ranah afektif 

Taksonomi untuk ranah afektif dikembangkan pertama kali oleh David R. Krathwohl dan kawan-kawan (1974) dalam bukunya yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives: Affective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif yang tinggi. Cirri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran PAI, kedisiplinan dalam mengikuti pembelajaran PAI, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak tentang materi PAI, penghargaan dan rasa hormat terhadap guru PAI, dan lain-lain.
Ranah afektif ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan dirinci ke dalam beberapa jenjang atau taraf afektif, yaitu (1) penerimaan (receiving), (2) penanggapan (responding), (3) menilai (valuing), (4) mengorganisasikan (organization), dan (5) karakterisasi dengan nilai atau kompleks nilai (characterization by a value orang value complex).
Receiving atau attending adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan atau stimulus dari luar yang dating kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini adalah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang dating. Receiving atau attending juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini, peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu, atau mengidentikkan diri dengan nilai itu. Contoh hasil belajar afektif taraf receiving adalah peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak berdsiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
Responding atau menanggapi mengandung arti "adanya partisipasi aktif". Jadi, kemampuan responding adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang  ini setingkat lebih tinggi daripada receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.
Valuing artinya memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan taraf afektif yang setingkat lebih tinggi daripada responding. Terkait dengan proses pembelajaran, peserta didik tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi telah mampu untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik-buruk. Apabila peserta didik telah mampu untuk mengatakan bahwa "itu baik atau itu buruk" maka dia sudah mampu untuk melakukan penilaian. Nilai itu sudah mulai diinternalisasikan ke dalam dirinya, yang selanjutnya bersifat stabil dan menetap dalam dirinya. Contoh hasil belajar afektif taraf valuing adalah tumbuhnya kemauan yang kuat dalam diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat karena didasari keyakinan dan penilaian bahwa hidup disiplin adalah baik.
Organization artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh hasil belajar afektif taraf organization adalah peserta didik mendukung penegakkan disiplin nasional yang dicanangkan oleh pemerintah. Mengatur atau mengorganisasikan ini merupakan taraf afektif yang setingkat lebih tinggi daripada valuing.
Characterization by a value orang value complex yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat yang tinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten dalam sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah tingkatan afektif tertinggi karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Dia telah memiliki filsafat hidup yang mapan. Jadi pada taraf afektif ini, peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mapan dan mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik "pola hidup". Tingkah lakunya menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif ranah terakhir ini adalah peserta didik telah memiliki kebulatan sikap. Wujudnya, peserta didik menjadikan perintah Allah swt dalam surat al-'Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat.

5)      Ranah Psikomotor

Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektifnya.
Sebagai contoh wujud nyata hasil belajar psikomotor untuk tema kedisiplinan dapat berupa:
·         Peserta didik bertanya kepada guru PAI tentang contoh-contoh kedisiplinan yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, dan ulama.
·         Peserta didik mencari dan membaca buku, majalah, dan sumber informasi lain yang memuat tentang tema kedisiplinan.
·         Peserta didik dapat memberikan penjelasan kepada siapapun tentang pentingnya kedisiplinan dalam kehidupan.
·         Peserta didik menganjurkan kepada siapapun untuk berperilaku hidup disiplin.
·         Peserta didik dapat memberikan contoh perilaku kedisiplinan dalam bentuk mentaati peraturan, beribadah, belajar dan lain-lain di manapun dia berada.
·         Dan lain-lain























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai dengan kebituhan pekerjaan/ jabatan melalui pendidikan dan latihan.
Pendidikan meningkatkan keahlian teoritis, konseptual, dan moral karyawan, sedangkan latihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan karyawan, workshoop bagi karyawan dapat meningkatkat pengetahuan lebih lagi di luar perusahaan.
Pada dasarnya pengukuran merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk menggambarkan karakteristik suatu objek.
Evaluasi secara singkat juga dapat didefinisikan sebagai proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok. Hasil evaluasi diharapkan dapat mendorong guru untuk mengajar lebih baik dan mendorong peserta didik untuk belajar lebih baik. Jadi, evaluasi memberikan informasi bagi kelas dan guru untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Informasi yang digunakan untuk mengevaluasi program pembelajaran harus memiliki kesalahan sekecil mungkin. Evaluasi pada dasarnya adalah melakukan judgment terhadap hasil penilaian, maka kesalahan pada penilaian dan pengukuran harus sekecil mungkin.
Dalam kamus Bahasa Indonesia mutu diartikan sebagai baik buruk sesuatu, kualitas, taraf atau derajat.
Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok yaitu (a) mengukur kemajuan, (b) menunjang penyusunan rencana, dan (c) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. Adapun secara khusus, fungsi evaluasi di bidang pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu (a) segi psikologis, (b) segi pedagogis-didaktik, dan (c) segi administratif.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prof. Dr.: Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Dimyati, Dr. dan Mudjiono, Drs.: Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Kerjasama Depdikbud dan PT Rineka Cipta, 2006)
Hamalik, Oemar, Prof. Dr.: Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT Remaja Rosdakarya, 2008)
http://www.pdk.go.id/, Drs. Umaedi, M.E,d Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pendidikan : manajemen peningkatan mutu Berbasis sekolah Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah Untuk peningkatan mutu menengah umum, April 1999
http://www.scribd.com/doc/24539571/evaluasi-pendidikan
Mukhtar, Prof. Dr. M.Pd. H. dan Iskandar, Dr. M.Pd.: Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009)
Sa’ud, Udin Syaefudin, M.Ed. Ph.D dan Makmun, Abin Syamsuddin, Prof. Dr. M.A.: Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif, (Bandung: Kerjasama PPs UPI dengan PT Remaja Rosdakarya, 2007)
Sudijono, Anas, Prof. Dr.: Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007)
Supardi, Drs. M.Pd dan Syah, Darwyan, Drs. M.Pd, M.Si.: Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Diadit Media, 2010)
Syafaruddin, Drs. M.Pd dan Nasutio, Irwan, Drs. M.Sc: Manajemen Pembelajaran, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005)
Tjiptono, Fandy dan Diana, Anastasia:  Total Quality Management (TQM), (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2003)
Vincent, Gaspersz: Penerapan TQME pada Perguruan Tinggi di Indonesia, (Jakarta:  Jurnal Pendidikan dan kebudayaan  Balitbang Diknas. Edisi  Mei 2001), tahun ke-7, No. 029
Wahyu, A. Dorothea, 1999. Manajemen Kualitas. Yogyakarta: Univ. Atma Jaya Yogyakarta